Hai, namaku Dewi.
Cerita travelling with purpose-ku kali
ini adalah pengalamanku ketika harus magang di luar kota. Aku bersama lima
orang temanku yaitu Rina, Yanti, Dilla, Dani, dan Yulizar ditugaskan untuk
menjalani kegiatan magang di salah satu instansi di Kota Bogor, Jawa Barat.
Kala itu pertimbangan utama kami adalah uang saku alias backpackeran. Maklum mahasiswa hehe.
Kami berenam
berangkat dengan kereta api. Tiket kami reservasi secara online. Sebagai yang
paling sering beli tiket online, aku dipasrahin tanggung jawab cari tiket. Seluruh
kemampuan aku kerahkan untuk menelusuri situs demi situs dan satu per satu
promo yang ditawarkan. Tibalah pada situs e-commerce
yang menawarkan cashback cukup menarik. Kami memutuskan untuk reservasi tiket pergi
dan pulang.
Setelah data lengkap,
kami menuju halaman check out. Aku pakai
metode pembayaran dengan kartu debit Jenius, tanpa ribet pembayaran langsung
diverifikasi dan langsung split bill
deh ke temen temen lainnya. Untung ada Jenius yang bisa membantu pembayaran instan
dengan metode Kartu Debit. Saat itu aku baru pakai Jenius beberapa bulan. Aku
inget ada fitur split bill yang bisa
jadi solusi di Jenius. Timbul ide buat sampein ke temen-temen tentang tabungan
Jenius yang aku punya beserta fitur-fiturnya, maksudnya sih biar lebih enak aja
nagihin uang patungannya hehe. Informasinya
juga sudah tersedia lengkap di social
media dan blog bikin semakin mudah untuk temen-temen cari tahu tentang
Jenius. Tahu kalau daftarnya dan penggunaannya praktis banget, temen temen satu
kelompok pada ikutan daftar Jenius. Buka tabungan jenius ga ada rugi dan ga ada
ribetnya juga sih, makanya temen-temen pada mau. Jadi untuk patungan pembayaran
perjalanan ini akan lebih nyaman dengan #Jalan2Jenius
Tibalah di hari
keberangkatan kami menuju ke Bogor. Kereta saat itu berangkat pukul 19.00 WIB
dan tiba dini hari di Kota Jakarta. Kami melanjutkan perjalanan menuju Bogor
dengan tumpangan dari Ardi, teman Dani yang memang domisili di Jakarta. Perjalanan
malam itu terasa singkat dan kami tiba di Bogor di hari Minggu, dini hari dan
langsung menuju ke mess yang disediakan. Namun saat tiba di lokasi, yang ada di
depan mata kami adalah rumah terbengkalai dengan ruang tamu yang berisi satu
sofa panjang yang sudah jebol dan bagian busanya mencuat keluar. Awalnya kami
hanya mengintip dari luar, karena kaca depannya tidak tertutup gordyn. Lalu kami yakinkan diri untuk
masuk.
“Permisi, Assalamualaikum..” kata Yanti yang masuk
duluan disusul satu persatu dari kami
“Wah, welcome to the home” kataku yang
berpikir bahwa ini akan menjadi tempat tinggal kami selama satu bulan di Bogor.
Kami pun
menengok kondisi kamar mandi, cukup bersih, tapi airnya bukan lagi keruh bahkan
dasar bak sudah tak tampak lagi. Kami berenam saling tatap. Namun di antara
kami, yang menatap dengan mata paling lebar karena shock adalah Yanti dan Rina. Mereka sahabat satu geng yang terkenal
berisi cewek-cewek cantik dan populer saat di kampus.
“Jelas sih, kita harus berbuat sesuatu” kata
Yanti mulai gelisah
“Iya, tapi kita
istirahat dulu aja lah, kasian Ardi udah nunggu di stasiun dan jemput kita
tengah malam begini” jawab Dani yang kemudian disetujui oleh kami berlima.
Ardi dan
Yulizar, pria-pria (yang harusnya) pemberani terpaksa tidur di ruang tamu yang notabene
langsung terawasi dari luar karena kacanya tembus pandang. Ardi tidur di sofa
dan Yulizar tidur di sleeping bag
yang aku bawa. Sedangkan lima lainnya, masuk ke dalam kamar.
Pagi telah
tiba, dan kami memutuskan untuk tidak mandi dengan keadaan air yang mengkhawatirkan
itu dan memilih untuk mencari Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU)
terdekat yang menyediakan fasilitas kamar mandi. Karena kegiatan dimulai di
hari Senin, waktu luang di hari itu kami gunakan untuk survey lokasi tempat
kami ditugaskan dan ternyata, dalam perjalanan lancar tanpa macet dibutuhkan
waktu 30 menit untuk mencapai kantor, kami membayangkan jika di setiap rush hour kami harus bermacet macetan di
jalan. Pasti akan sering terlambat tiba di kantor. Tidak hanya itu, sulitnya
mendapatkan angkutan umum maupun taksi online juga menjadi pertimbangan kami.
Sempat terpikir
untuk mencari kontrakan di sekitar, tapi rasanya dalam waktu yang sangat
singkat ini, akan sulit untuk mendapatkannya. Aku yang saat itu lagi pegang
ponsel iseng untuk buka browser dan mulai mencari kontrakan di sekitar. Rupanya
Dewi Fortuna berpihak pada kami, ada satu kontrakan yang berjarak hanya 600
meter saja dari tempat kami bertugas.
“Eh, ada nih kontrakan dekat sini, iklannya baru semalem”
kataku penuh rasa berharap
“Hah, serius?! Coba
hubungi yuk!” kata Dilla
Lainnya ikut
penasaran sehingga merapat ke arahku.
Aku pun
langsung menghubungi nomor telepon yang disediakan dan tanpa pikir panjang kami
langsung menuju ke lokasi. Ternyata, kamar tersebut baru ditinggalkan oleh
penghuni sebelumnya tepat satu malam sebelum kami tiba di Bogor. Kontrakannya berisi
satu petak kamar dengan satu kamar tidur ukuran 2 x 2 m2, satu kamar
mandi, dan dapur. Kami nego harga dong dengan pemiliknya, setelah mencapai deal
kami langsung bayar uang muka, bergegas
kembali untuk pick up barang-barang
dan mengisi kontrakan kami yang baru.
Hari demi hari
kami lalui dengan berbahagia. Tak terasa sudah tiba di minggu terakhir kami di
Bogor. Memang di awal menjalani minggu terakhir bukannya semangat, aku malah merasakan
sebaliknya. Benar saja, di hari berikutnya aku menemukan satu vesikel (benjolan
berisi cairan) pada kakiku yang sudah pecah dan terlihat hanya seperti gigitan
serangga. Tapi cukup aneh, karena kenapa disertai demam cukup tinggi juga. Awalnya
kuabaikan, hanya aku atasi dengan obat penurun panas sampai keesokan harinya vesikel
itu muncul lagi di leherku. Tak hanya itu, demam tak kunjung turun. Beruntunglah
di minggu tersebut, hari Jumat adalah hari libur nasional, sehingga laporan
kegiatan dilakukan hari Kamis. Kami sudah berencana untuk menghabiskan hari
Jumat untuk menjelajah Bogor, namun ternyata tubuhku berkehendak lain. Saat itu
aku sadar bahwa aku terkena cacar.
Dalam riwayatku
memang aku belum pernah terkena cacar saat masih kecil. Awalnya aku ragu untuk
memberi tahu teman teman satu timku, aku hanya meminta Yanti membelikan
beberapa jenis obat. Sampai kemudian aku memberanikan diri menanyai mereka satu
persatu karena aku tidak mau ini menyebar ke temanku yang lain. Ternyata hanya
dua di antara mereka yang sudah pernah terpapar cacar sebelumnya, Yanti dan
Dilla. Jadi aku mengisolasi diri dan sebisa mungkin menjaga jarak dari tiga
lainnya.
Aku mulai
merasakan munculnya cacar dan demam di hari Senin dan tepat di hari Rabu,
badanku mencapai puncak ketidaknyamanan, namun karena banyaknya tugas yang
harus dikerjakan, aku baru menyempatkan ke dokter di hari berikutnya. Pada hari
Kamis, aku siap lebih awal dibanding yang lainnya dan standby di Puskesmas satu
jam sebelum puskesmas buka, bukannya mau bantu bersih-bersih, aku berharap bisa
ditangani sesegera mungkin. Beruntungnya adalah Google menunjukkan bahwa puskesmas terdekat hanya sekitar 1 km dari
kontrakan, tapi kembali lagi Google
hanyalah mesin biasa yang bisa salah. Di sana tertera jam buka Puskesmas adalah
07.00 WIB maka aku datang pukul 06.30 WIB. Ternyata oh ternyata, Puskesmas baru
buka pukul 08.00 WIB dan pelayanan dokter dimulai pukul 09.00 WIB
Singkat cerita
akhirnya namaku dipanggil juga untuk pemeriksaan dokter. Dokter akhirnya mengkonfirmasi
bahwa benar, di usiaku yang 20 tahun saat itu aku terkena cacar. Tapi dokter
yang bijak menyampaikan, “gapapa kena
cacar sekarang, daripada pas sudah tua nanti, malah makin susah”
Setibanya di
kontrakan, aku sempatkan untuk istirahat. Magang di luar kota dengan budget
mahasiswa mengajarkanku betapa tidur beralaskan kardus adalah nikmat yang tak
dapat dipungkiri. Karena dalam satu kontrakan hanya ada satu kamar dan pemilik
kontrakan berbaik hati meminjamkan kami kasur ukuran double, maka kami wanita berlima tidur dalam kamar. Kasur hanya
memuat empat dari kami, itu saja sudah dipaksakan kami tidur dengan mode ikan
pindang dijemur alias ga bisa gerak sama sekali.
Kamar berukuran
2x2 meter, sedangkan kasur berukuran 160 x 200 cm2. Sisa space 40 cm kami gunakan untuk tidur
satu dari kami. Oleh karena itu, kami harus tidur secara bergantian di bawah.
Dinginnya lantai membuat kami mengeluarkan sisa sisa pakaian dari dalam koper
untuk dijadikan alas. Di akhir minggu kami baru berinisiatif untuk membeli
kardus dari warung yang tidak jauh dari kontrakan kami. Ternyata, tidur
beralaskan kardus sangatlah hangat! Nyamaaan!
Karena aku
sudah positif didiagnosa cacar, aku langsung mengunjungi rumah sakit dan segera
meminta tindakan intensif, mengingat aku harus segera kembali ke Jogja dalam
keadaan sehat. Akupun harus rela untuk melepaskan waktu menjelajah kota Bogor
bersama teman-teman demi kenyamanan bersama.
Untuk
kenyamanan semuanya, aku berkemas dan segera meninggalkan kontrakan. Dengan koper
besarku yang dibawa oleh saudaraku kami memesan taksi online. Sekali lagi,
Jenius sangat membantu. Keperluan transportasi kami selama di Bogor mendapatkan
cashback dari Jenius. Untungnya dekat dari rumah sakit ada hotel untuk transit
saudaraku. Kali itu aku benar-benar merasakan pertolongan dari saudara yang tak
ternilai harganya. Perawatan intensif memang mendukung kecepatan pemulihan
kondisiku dari penyakit cacar ini. Pada hari Minggu pagi, vesikel di tubuhku
sudah hilang dan dokter sudah mengizinkan aku untuk pulang dan menyatakan bahwa
keadaanku sudah aman, tidak akan menular, sehingga sudah bisa bepergian.
Lagi-lagi biaya
adminstrasi dan pengobatan rumah sakit aku bayarkan dengan kartu debit Jenius
yang aku punya. Untungnya aku memang menyisihkan sejumlah uang untuk kebutuhan
tak terduga di akun Jeniusku. Selanjutnya aku reservasi tiket pesawat di situs
favoritku, dan bayarnya pakai Jenius lagi. Singkat waktu, aku tiba di
Yogyakarta dengan sehat, selamat, dan berbahagia.
Terima kasih Jenius, sahabat travelling-ku.
Fotoku bersama kelima rekan magangku